Indonesia dibayangi ancaman inflasi dan resesi akibat ketidakpastian ekonomi global. Hal itu berimbas pada potensi ekonomi Tanah Air sekaligus mempengaruhi persepsi masyarakat terkait aktivitas konsumsi.-
Sehubungan dengan itu, DBS Group Research membagikan hasil prediksinya melalui riset bertajuk ‘Indonesia Consumption Basket’. Penelitian ini mencakup 700 responden lebih yang meliputi berbagai kelas pemasukan dan dimulai pada November 2022 lalu.
Berdasarkan hasil riset tersebut terungkap bahwa inflasi dan ancaman resesi dapat mengubah pola pengeluaran dan konsumsi responden. Riset itu juga menunjukkan konsumen semakin sadar dan khawatir mengenai inflasi yang terjadi di 2023.
“Sekalipun pandemi Covid-19 telah berlalu, inflasi tetap menjadi tantangan besar dengan 98 persen responden merasakan tren kenaikan harga.” Tulis laporan tersebut.
Riset yang sama menyebutkan sebanyak 55 persen masyarakat menganggap inflasi terjadi karena kenaikan harga BBM dan konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Responden pun turut mengungkapkan faktor lain yang menyebabkan inflasi meningkat yaitu disrupsi rantai pasokan selama pandemi Covid-19 dan adanya kenaikan suku bunga dari Bank Sentral Amerika (The Fed).
“Kenaikan harga pada BBM dan bahan makanan menunjukkan hal itu. Bahkan tingkat inflasi Indonesia menyentuh 5,41 persen sepanjang November 2022. Dan 54 persen responden mengatakan merasakan pengeluaran mereka melebihi statistik inflasi,” demikian menurut laporan Bank DBS.
Mengenai pengeluaran responden, riset itu menemukan bahwa sebesar 54 persen responden merasakan pengeluaran mereka melebihi statistik inflasi Indonesia. Bahkan jumlahnya sudah meningkat di atas angka 10 persen lebih. Karena itu konsumen memilih BBM dan bahan makanan sebagai dua hal dengan peningkatan signifikan.
Di samping itu, konsumen memprediksi kenaikan tingkat inflasi akan terus berlanjut dalam rentang waktu yang lebih panjang. Sebesar 89 persen responden menyatakan inflasi ini dapat berlangsung selama enam bulan atau bisa lebih lama lagi.
Sementara itu, sebesar 62 persen responden menyatakan perilaku konsumsinya bisa berubah dalam jangka waktu tiga sampai enam bulan. Lalu, bagi kelas menengah ke atas, sebesar 40 persen menyatakan tidak akan langsung mengubah pola konsumsi apabila inflasi masih terus terjadi.
"Untuk kelas atas, 37 persen responden kami akan menyesuaikan gaya hidup hanya bila inflasi tetap tinggi dalam kurun waktu lebih dari enam bulan ke depan dan 7 persen responden tidak akan mengubah pola konsumsi sedikitpun,” masih menurut laporan tersebut.
Dalam riset yang sama terungkap bahwa kalangan menengah ke bawah bersiap mengambil langkah defensif untuk menghadapi inflasi. Sejumlah siasat pun dipersiapkan, antara lain seperti menabung lebih banyak dan mengeluarkan lebih sedikit, serta mencari alternatif barang yang lebih murah.
Menurut hasil riset itu, konsumen akan mengantisipasi situasi inflasi yang bisa berlangsung lama di paruh pertama 2023 atau hingga di 2024. Sedangkan di sisi lain, sebagian besar masyarakat memiliki rencana tersendiri terkait adaptasi dan perubahan pola konsumsi agar lebih resilien terhadap tren inflasi.
Bank DBS juga menemukan bahwa responden cenderung menggunakan barang alternatif yang harganya lebih murah, daripada mengurangi frekuensi pengunaan kebutuhan pokok. Hal ini juga berlaku pada pengeluaran rumah tangga ataupun BBM dan biaya transportasi.
Adapun untuk kebutuhan nonpokok, seperti makan di luar, rekreasi, dan pakaian, responden cenderung akan mengurangi intensitasnya, dikarenakan mereka tampak lebih memilih kualitas ketimbang kuantitas. -