Kendati pandemi Covid-19 belum usai, geliat pemulihan ekonomi nasional semakin terasa. Kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal IV-2021, mencatatkan sejumlah kemajuan yang memicu optimisme terhadap pemulihan ekonomi pada 2022.
Radhika Rao, ekonom senior Bank DBS, dalam hasil riset yang berjudul Indonesia: Demand Normalization Brighten Outlook Asia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% pada kuartal IV-2021. Adapun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2021 mencapai rata-rata 3,7%.
”Prediksi kami ada di kisaran 3,6% dan proyeksi pemerintah berada di kisaran 3,7-4,5%,”kata Radhika.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal akhir 2021 menunjukkan adanya laju pertumbuhan sebesar 1,1% dibanding kuartal sebelumnya. Catatan ini juga melampaui pola normal dari periode sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan negatif, yakni pada triwulan IV-2015 – 2019 yang rata-rata -1,7%.
Radhika Rao menambahkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2021, ditopang oleh seluruh komponen perekonomian. Namun konsumsi dan perdagangan menjadi dua faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Konsumsi menempati tempat teratas dalam pertumbuhan ekonomi, ” ujar Radhika.
Indikator peningkatan konsumsi juga terdapat pada survei kepercayaan, penjualan eceran, pertumbuhan kredit, bahan baku, dan impor. Dengan demikian pemulihan ekonomi secara riil telah berjalan dalam aktivitas domestik dan berangsur-angsur mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Sementara itu, aktivitas ekspor mendukung pertumbuhan yang tinggi seiring dengan peningkatan permintaan dan harga komoditas global. Dari sisi lapangan usaha, sektor-sektor unggulan nasional seperti manufaktur, perdagangan, konstruksi, dan transportasi melanjutkan tren pemulihan dengan mencatat pertumbuhan kuat.
Radhika Rao dan ekonom DBS lainnya menjelaskan arah pertumbuhan ekonomi nasional pada masa pandemi akan banyak dipengaruhi oleh kebijakan mitigasi pandemi pemerintah. Sebagai bukti, keberhasilan pengendalian pandemi pasca penyebaran varian Delta pada kuartal III-2021 lalu mampu mendorong ekosistem perekonomian kembali bergeliat.
“Beban penanganan kasus Covid-19 terlihat menurun pada kuartal IV 2021, seiring dengan percepatan vaksinasi dan pelonggaran pembatasan mobilitas. Peningkatan jumlah aktivitas juga terekam pada sejumlah indikator seperti survei kepercayaan publik, penjualan barang eceran, bahan baku dan setengah jadi,” ujar Radhika.
Laporan dari Bank Dunia yang bertajuk Indonesia Economic Prospect (IEP) 2021 menyebutkan, kemajuan dari berbagai perkembangan kondisi perekonomian Indonesia berkaitan dengan ruang kebijakan makro-ekonomi yang lebih fleksibel.
Fleksibilitas anggaran dalam mitigasi Covid-19 akan memudahkan pihak-pihak berwenang untuk secara cepat merespons gelombang penyebaran virus Delta pada tahun lalu.
Senada dengan itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan keberhasilan pengendalian pandemi menjadi satu faktor keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional.
”Adanya sinergitas antara otoritas dan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pandemi ikut menjaga stabilitas dan percepatan pemulihan ekonomi,” ujar Febrio.
Pada 2022, Bank DBS menilai bahwa mitigasi pandemi masih diperlukan untuk menjaga prospek pemulihan ekonomi. Apalagi saat ini, penyebaran virus varian Omicron tengah melonjak mengingat sifat virusnya yang semakin mudah menular.
”Namun melihat sifat varian yang tidak terlalu berbahaya, kemungkinan pembatasan mobilitas akan ditinjau secara berkala, dan di sisi lain fasilitas medis sedang ditingkatkan di tengah percepatan vaksinasi,” ujar Radhika Rao.
Di sisi lain, kebijakan mengenai komoditas perdagangan, seperti alokasi yang cukup bagi pemain domestik di industri hilir dapat menguatkan posisi perekonomian di tengah pengaruh pasar gobal. Strategi ini dapat memicu lonjakan perdagangan karena permintaan impor yang lebih tinggi untuk bahan mentah dan barang setengah jadi.
”Hal ini akan membuat neraca transaksi berjalan kembali ke level yang lebih stabil pada tahun ini,” kata Radhika.
Terkait inflasi, Radhika menjelaskan kenaikan harga terjadi pada sejumlah komoditas seperti makanan, makanan, pakaian, utilitas, peralatan rumah tangga, transportasi, dan sektor jasa. Pada umumnya sejumlah komoditas itu harganya melonjak akibat faktor musiman.
Namun ada pula dorongan kenaikan dari penyesuaian harga LPG non-subsidi, sewa rumah, serta aktivitas ekonomi yang kembali normal, kendati nantinya ada perpanjangan harga yang diatur (tarif BBM dan listrik), ujar dia.
Diperkirakan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai, peningkatan permintaan dari berbagai komoditas, dan tekanan impor akan mempengaruhi kenaikan inflasi, yang akan mencapai 3% per tahun.
”Akan dua kemungkinan yang mempengaruhi inflasi di 2022 yakni perubahan kasus COVID-19 reformasi subsidi atau penyesuaian harga,” ujar dia.
Pertama, situasi pandemi yang berdampak pada tren harga. Kedua, adanya dukungan pemerintah melalui intervensi untuk menekan harga domestik, seperti kewajiban memperkuat pasar domestik pada batu bara, minyak sawit, dan komoditas terkait lainnya.
Selain itu, berdasarkan laporan Bank DBS lainnya yang berjudul ”ASEAN-5: Evaluating Key Inflation Drivers”, kondisi eksternal turut mempengaruhi kenaikan inflasi. Situasi konflik Rusia-Ukraina yang memanas, diprediksi akan mengakibatkan The Fed AS memperketat kebijakan di tahun ini.
Kondisi ini akan turut mempengaruhi kondisi di regional dan domestik. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat juga dapat mempengaruhi inflasi di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Sejumlah faktor ini akan berpengaruh pada kenaikan harga migas Tanah Air.
Situasi perdagangan dan keuangan global mempengaruhi harga-harga komoditas pasar domestik ini akan memerlukan kebijakan moneter dan keuangan yang akomodatif. Di sisi lain ruang fiskal juga perlu diperluas untuk meningkatkan penghasilan dari pajak dan sebagai upaya memperbaiki target dan prioritas dukungan fiskal.
”Gubernur Bank Indonesia akan memberi perhatian terhadap tantangan kebijakan global dan kondisi likuiditas terbaru.”