DBS Research Group memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia masih akan berfluktuaksi antara surplus dan defisit, di sekitar US$ 500 juta, dalam bulan-bulan yang akan datang.
Baik ekspor maupun impor, Ekonom DBS Research Group Masyita Crystallin, memperkirakan masih akan tetap melemah. Ekspor akan terkena dampak dari perlambatan perekonomian global. Sementara impor juga akan relatif rendah hingga kuartal I 2020, karena investor menunggu kabinet baru terbentuk dan rencana kerja pemerintah ke depan.
Presiden Joko Widodo, yang dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi Presiden RI, Minggu, 20 Oktober 2019, mengumumkan nama-nama menteri kabinet pada Rabu, 23 Oktober 2019.
-“Tapi begitu Presiden Jokowi dilantik dan pemerintahannya terbentuk, investasi akan mengalir lagi,” kata Masyita.
Masyita menjelaskan, perlambatan impor terjadi pada tiga kategori, yakni barang-barang konsumsi, bahan baku, dan barang-barang modal. Impor barang-barang konsumsi melemah karena terdepresiasi nilai tukar rupiah selama periode 2017-2018, adanya kebijakan B20, yakni bauran 20 persen biodiesel dan 80 persen solar yang berlaku efektif per 1 September 2018, serta adanya kebijakan pajak pertambahan nilai terhadap lebih dari 1.000 barang-barang konsumsi yang berlaku efektif mulai 12 Seotember 2018.
Sementara itu, pertumbuhan impor bahan baku dan barang-barang modal yang negatif sebesar -8,8 persen (YoY) dan 4,3 persen selama Januari-September.
Pelemahan secara keseluruhan dalam impor barang modal dan bahan baku menyiratkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan investasi dalam 1-2 kuartal ke depan. Impor yang lebih rendah akan merugikan ekspor karena tingginya konten impor. Karena itu, menurut Masyita, segala tindakan pembatasan impor yang terkait bahan mentah dan barang perantara untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, malah akan menjadi kebijakan yang kontraproduktif.
“Melemahnya impor barang-barang modal dan bahan baku memberikan sinyal pertumbuhan investasi melambat pada semester II 2019,” kata Masyita.
Sementara itu, dalam analisisnya yang berjudul “Indonesia: Surfacing economic weakness” yang dirilis pada 16 Agustus 2019, Masyita menyebutkan Indonesia mencatat pertumbuhan yang stabil sebesar 5 persen pada kuartal II 2019. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang justru mencatatkan pertumbuhan yang menurun.
Menurut Masyita, penggerak utama pertumbuhan pada kuartal II 2019 adalah konsumsi, baik pemerintah maupun swasta. Total konsumsi tumbuh 5,7 persen, jauh di atas rata-rata pertumbuhan konsumsi lima tahun sebesar 4,8 persen. Sementara pertumbuhan investasi agak sedikit mereda.
“Infrastruktur pemerintah masih bisa mendukung pertumbuhan investasi, meskipun tidak sekuat tahun lalu. Indeks Manufaktur Pembelian (PMI) masih menunjukkan ekspansi di 52,1,” kata Masyita.
DBS Research Group juga memperkirakan neraca perdagangan masih akan berlanjut karena ketegangan perdagangan yang masih terus berlangsung antara Pemerintah Amerika Serikat dan China. Impor, kata Marsyita, telah melambat selama beberapa bulan terakhir, tapi penurunan ekspor bisa berlangsung lebih lama. Apalagi, Indonesia belum mendapat manfaat dari perang dagang AS-China. Tidak seperti Vietnam dan Taiwan yang mendapat keuntungan relokasi industri pabrik-pabrik dari China.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya telah merilis neraca perdagangan pada September 2019 yang mengalami defisit sebesar US$ 160 juta, memburuk dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan surplus US$ 85 juta. Defisit tersebut terutama disebabkan oleh kinerja ekspor yang turun, sementara impor mulai meningkat.
-Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan ekspor pada September tercatat sebesar US$ 14,1 miliar turun 1,21 persen dibanding bulan sebelumnya atau 5,74 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, impor pada September tercatat masih meningkat 0,63 persen dibandingkan bulan sebelumnya, namun turun 2,41 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
"Neraca perdagangan pada September 2019 defisit US$ 160 juta. Secara kumulatif, Januari-September 2019, neraca perdagangan defisit US$ 1,95 miliar," kata Suhariyanto, seperti dikutip dari Katadata, 15 Oktober 2019.
Menurut Suhariyanto, ekspor secara kumulatif Januari-September tercatat sebesar US$ 124,17 miliar, turun 8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara impor secara kumulatif tercatat sebesar US$ 126.115,8 juta, turun 9,12 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Sementara impor pada September mulai meningkat, terutama pada kelompok barang konsumsi dan barang modal, masing-masing 3,13 persen dan 4,18 persen. Adapun impor bahan baku masih turun 0,07 persen dibanding bulan sebelumnya.
"Impor (nonmigas) secara kumulatif paling besar masih dari Tiongkok, berupa handphone dan notebook. Disusul Jepang, yakni alat transmisi dan mesin," kata Suhariyanto.
Neraca perdagangan mulai mengalami defisit sejak tahun lalu. Sepanjang tahun lalu, defisit neraca perdagangan bahkan mencapai US$ 8,57 miliar, terburuk sepanjang sejarah.