Pandemi Covid-19 telah memukul seluruh sendi ekonomi Indonesia. Hotel-hotel sunyi, pusat perbelanjaan sepi pengunjung. Lebih dari 3,5 juta orang, menurut Kementerian Ketenagakerjaan, telah kehilangan pekerjaan selama pandemi. Tingkat pengangguran yang sempat turun ke posisi 6,8 juta orang pada Februari 2020, hanya dalam waktu enam bulan, naik melampaui 10 juta orang.-
Tak hanya berdampak besar pada bisnis perusahaan, pandemi dan pembatasan mobilitas mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tak terkecuali perilaku konsumen dalam berbelanja.
Perubahan itu terungkap dari survei yang dilakukan oleh Bank DBS Indonesia. Dalam survei yang dilakukan secara daring selama dua minggu pada pertengahan Juni lalu, bank asal Singapura itu mengeksplorasi perubahan perilaku belanja konsumen selama pandemi Covid.
Untuk beradaptasi dengan perubahan ekonomi akibat, menurut survei Bank DBS Indonesia, sebagian besar responden memilih mengerem belanja, paling tidak hingga enam bulan ke depan. “Pendapatan mereka sebagian besar ditabung dan dinvestasikan daripada dihabiskan untuk belanja barang-barang ataupun beraktivitas,” demikian temuan riset Bank DBS Indonesia yang bertajuk “Indonesia Consumption Basket” yang terbit pada 28 Agustus 2020.
Survei Bank DBS Indonesia mengungkapkan ada lima temuan kunci saat mensurvei lebih dari 500 responden yang mayoritas berasal dari Jawa, Jakarta dan sebagian kecil luar Pulau Jawa. Hasilnya, ada perubahan sikap terhadap kesehatan, lebih fokus pada rumah, memasak makanan sendiri, dan peningkatan belanja lewat e-commerce. Adapun, belanja kebutuhan sehari-hari secara tradisional pun ikut berubah.
“Responden menyebutkan bahwa kesehatan dan kebersihan adalah hal berharga dan ada perubahan cara pandang terhadap dua hal itu,” tulis survei itu. Sekitar 54 persen responden mengonsumsi lebih banyak vitamin dan suplemen.
Adapun dalam hal makanan, 69 persen respoden memilih mengonsumsi makanan yang dimasak sendiri. Sekitar 84 persen responden memilih beraktivitas dari rumah. Mulai dari kerja, belajar dan aktivitas lainnya. Perubahan perilaku belanja pun turut terlihat. Belanja online di situs e-commerce meningkat 66 persen setelah pandemi (sebelum pandemi hanya 14 persen). Belanja di pusat perbelanjaan turun secara signifikan mencapai 24 persen, padahal sebelum Covid-19, 72 persen responden memilih belanja di toko.
Belanja kebutuhan sehari-hari ke pasar tradisional pun terjun bebas. Responden memilih menggunakan platform aplikasi belanja sembako karena akses membeli produk segar di pasar terkendala PSBB. Juga adanya peningkatan kesadaran akan kebersihan.
Aplikasi toko online sebagai tempat pilihan responden untuk berbelanja naik tujuh kali lipat dari 3 persen sebelum pandemi menjadi 21 persen. Mereka yang masih berbelanja ke pasar tradisional turun tajam menjadi 30 persen dari 52 persen sebelum pandemi.
Akibat pandemi dan rendahnya konsumsi rumah tangga karena konsumen yang cenderung mengerem belanja, DBS telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi minus 1 persen dari perkiraan sebelum pandemi 5,3 persen.
Hingga akhir Agustus lalu, Pemerintah masih berharap resesi bisa dihindari. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah bakal habis-habisan menggunakan seluruh instrumen untuk menjaga perputaran mesin perekonomian, terutama pada kuartal III 2020.
Sejak pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2020 turun hingga 5,51 persen. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walhasil, pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama jadi minus 5,32 persen.-
Untuk mengimbangi rendahnya konsumsi rumah tangga, pemerintah pun menggenjot belanja. “Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal ketiga ini menjadi kunci agar kita bisa mengurangi kontraksi ekonomi atau bahkan diharapkan bisa menghindari resesi,” kata Sri Mulyani, pada akhir Agustus lalu mengutip Katadata.
Kementerian Keuangan mencatat belanja pemerintah pada Agustus 2020 melesat 8,8 persen dibanding bulan sebelumnya. Realisasi belanja pemerintah hingga Agustus 2020 mencapai Rp 1.362,63 triliun. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan belanja yang cukup signifikan tersebut sesuai instruksi Presiden Joko Widodo.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Adi Budiarso menyatakan, pemerintah memiliki tiga jurus utama untuk mengungkit ekonomi pada kuartal ketiga. “Pada saat masyarakat mengalami tekanan ekonomi, supply dan demand pemerintah harus berfokus pada upaya countercyclical,” kata Adi, Senin (31/8) seperti dikutip dari Katadata.
Jurus pertama pemerintah adalah mempercepat realisasi program-program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Termasuk memperbaiki ketepatan data dan merealokasi anggaran yang belum terpakai untuk program baru. Jurus selanjutnya adalah meningkatkan konsumsi pemerintah yang menyumbang 8,67 persen terhadap PDB.
Beberapa program yang menurut Adi telah dilakukan, adalah pencairan gaji ke-13 dan bantuan pulsa untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Terakhir, jurus pemerintah adalah dengan memperkuat konsumsi masyarakat. Caranya dengan memodifikasi belanja perlindungan sosial dengan menaikkan besaran manfaat, menambah frekuensi penyaluran, dan periode penyaluran.
Namun kebijakan ekspansi fiskal Pemerintah masih belum menyelesaikan persoalan ekonomi. Pada Selasa, 22 September 2020, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga masih rendah dari ramalan semula. Meski belanja pemerintah naik lumayan tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode Juli-September diperkirakan masih minus 2,9 persen.
"Konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor masih negatif," ujar Sri Mulyani. Secara keseluruhan, Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan negatif 0,6 persen hingga minus 1,7 persen.