Fast fashion sudah beberapa tahun belakangan ini jadi topik obrolan orang-orang sedunia. Selain karena ada isu kerusakan lingkungan akibat dampak fast fashion, ada pula isu kemanusiaan di balik kisah fenomena fesyen ini. Untuk yang belum tahu, fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan desain pakaian yang bergerak cepat dari catwalk ke toko-toko di mal untuk memenuhi tren baru. Ini adalah definisi yang dikemukakan oleh Investopedia, situs yang fokus pada investasi dan keuangan pendidikan bersama dengan ulasan, penilaian, serta perbandingan berbagai produk keuangan asal Amerika Serikat.
#1 Dibuat Dalam Skala Industri Besar
Trusted Clothes, organisasi global berisi sekelompok relawan yang berdedikasi untuk mempromosikan fashion yang etis, berkelanjutan, dan sehat, pernah menuliskan di situs resminya, apa saja ciri-ciri dari fast fashion. Seperti berikut ini:
#2 Setiap Musim Muncul Koleksi Baru
Menurut dosen mode dari University of Leeds, Inggris, Dr Mark Sumner, industri fesyen saat ini mengikuti empat musim yang berlaku di sebagian besar negara, yaitu musim semi, panas, gugur, dan dingin. Hal ini menurutnya berbeda dengan industri mode zaman dulu yang koleksi busananya hanya dibagi menjadi 2 musim saja, yakni musim semi/musim panas dan musim gugur/musim dingin. Fesyen desainer masa kini bekerja berbulan-bulan untuk merencanakan koleksi busana setiap musim dan memprediksi apa yang pembeli inginkan.
Itulah kenapa, koleksi busana berdasarkan musim ini ditambah lagi dengan koleksi yang dihubungkan dengan event-event tertentu. Di Indonesia misalnya, akan selalu ada tempat untuk koleksi busana baru di bulan Ramadan dan Lebaran. Tentunya disertai potongan harga besar-besaran juga. Untungnya, koleksi busana baru tak mengikuti musim buah-buahan di Indonesia juga, ya. Kebayang enggak, sih, ada pakaian-pakaian berwarna cerah untuk musim mangga atau baju bermotif duri-duri di musim durian?
#3 Low Quality, High Volume
Menurut Elizabeth Cline dalam bukunya Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion (2012), para retailer yang menjalankan prinsip fast fashion, beroperasi pada model bisnis dengan kualitas rendah, namun volume produksi tinggi. Kuantitas lebih penting dibanding kualitas. Enggak heran, ya, kalau baju yang baru kita pakai 2-3 kali sudah belel.
Fast fashion juga memungkinkan proses desain pakaian, pembuatan barang, dan distribusi ke toko offline ataupun toko online bisa selesai dalam waktu yang sangat singkat. Sebagai contoh, Cline mengungkapkan, kalau Zara mengirimkan produk-produk fesyen baru ke toko-tokonya setiap 2 kali dalam seminggu. Sementara itu, H&M dan Forever21 setiap hari mengirimkan model baru ke berbagai tokonya. Setiap hari! Sedangkan TopShop, memperkenalkan 400 gaya dalam seminggu di website-nya.
#4 Ada ‘Masalah’ Di Balik Harga Murah
Kemewahan dari memiliki dress yang mirip sama milik Victoria Secret dengan harga terjangkau ternyata menjadi masalah buat orang lain, Guys. Para produsen dianggap membayar buruh dengan upah rendah banget supaya bisa menekan biaya produksi, sehingga menghasilkan barang yang murah. Sedih, ya?
Selain itu, retailer juga memotong biaya produksi, makanya kualitasnya jadi menurun. Ditambah lagi, mereka bekerjasama dengan pabrik garmen di negara yang gaji buruhnya rendah. Misalnya, kayak di Bangladesh, Cina, dan Vietnam. Menurut sebuah artikel di Business Insider, rata-rata pekerja pabrik di Bangladesh yang mengerjakan pakaian untuk salah satu fashion brand favorit di Indonesia, gajinya hanya 87 dolar AS per bulan (sekitar 1,2 juta rupiah). Gaji mereka itu jauh dari standar gaji minimum Bangladesh yaitu sebesar 286 dolar AS.
#5 Fast Fashion Membuat Kita Jadi Konsumtif
Inilah yang membuat fast fashion jadi mengubah cara berpakaian-berpikir-berbelanja kita. Kita jadi lebih sering menghabiskan uang untuk belanja pakaian, lalu memakainya hanya beberapa kali (kadang malah enggak digunakan), dan kemudian tergoda membeli pakaian model baru yang lagi sale. Murahnya harga pakaian baru juga membuat munculnya keinginan untuk membeli barang yang baru, dibandingkan memperbaiki yang lama atau merawat pakaian sehingga tahan lebih lama.
Data dari American Apparel and Footwear Association tahun 2013, rata-rata penduduk Amerika Serikat membeli 64 potong garmen per tahun. Banyak, ya?! Para fashion designer juga diminta perusahaan retail untuk menciptakan penampilan baru setiap minggu, agar pembeli merasa ketinggalan tren setelah pemakaian pertama pakaiannya.
Supaya kita tak konsumtif, mungkin ada baiknya kita mengurangi frekuensi bepergian ke mal. Soalnya, beberapa pakar mengatakan, saat ini kegiatan belanja dianggap sebagai salah satu kegiatan hiburan. Padahal, ada banyak, lho, kegiatan yang menghibur lainnya. Yang lebih hemat pula, misalnya menonton series di rumah. Butuh referensi? Coba, deh, nonton mini-series berjudul Sparks.
Pertengahan Juli 2019 lalu, season kedua Sparks baru saja diluncurkan. Yang bikin menarik, episode Sparks musim pertama berhasil meraih sejumlah penghargaan pemasaran global. Mulai dari “Gold Award in Digital Marketing” di ajang “Global Efma-Accenture 2017 Distribution & Marketing Innovation Awards” hingga Silver Award pada penghargaan bergengsi “Shorty Awards 2018”.
Mini seri yang tayang di kanal digital ini merupakan bentuk komitmen Bank DBS dalam meningkatkan agenda pembangunan berkelanjutan sebagai fokus dan tujuan bank. Menariknya, serial bertema everyday heroes for a better world ini diilhami oleh kisah nyata. Kalau penasaran, tonton di sini, deh.