Bukan hanya dapat cuan, Magalarva juga membantu menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan tujuan awal ingin mengolah limbah, CEO Magalarva Rendria Labde mendirikan Magalarva. Ia mengaku memiliki kepedulian pada sampah dan punya semangat untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai. Karena ‘pemain’ sampah plastik di Indonesia sudah banyak dan sangat baik, Rendria pun mencari peluang lain, dan kemudian melakukan riset pada tahun 2017 di sebuah laboratorium kecil di Jakarta.
Hasil risetnya menemukan sebuah spesies bernama Black Soldier Fly (BSF), jenis larva yang efektif dalam menghancurkan sampah organik, yang lebih efisien dari cara pengomposan. Ia juga menemukan peluang baru, yakni pengolahan produk menjadi pakan ternak dan protein. Bersama co-founder Magalarva, Arunee Sarasetsiri, Rendra terus mempelajari BSF. Tentu ini bukan hal yang mudah karena mereka tidak punya latar belakang di bidang biologi. Semakin berkembangnya bisnis sosial ini, kini Rendria telah memiliki microbiologist dan ahli peternakan untuk terus mengembangkan Magalarva.
Tertarik Pada Gaya Hidup Berkelanjutan
Sebelum merintis Magalarva, Rendria pernah menjajal bisnis properti. “Tapi, dari dulu, angle-angle yang kita buat pun memang kepingin ke arah hidup yang berkelanjutan. Dan, ketika kita menjalankan itu, (terpikir) what’s next? Setelah projeknya selesai, mau lanjut ke mana?,” ungkap Rendria. Pertanyaan tersebut membawa Rendria ke salah satu masalah yang menurutnya sangat penting untuk dicari solusinya, yaitu overpopulation. Dengan banyaknya manusia, maka bertambah pula ‘mulut’ yang perlu diberi makan.
Dari masalah makanan itu, Rendria merunut ke akarnya, yakni cara memproduksi makanan. “Salah satu industri paling besar dan yang paling penting di masyarakat, kan, adalah peternakan. Di dalam peternakan, yang paling penting adalah pakan ternak. Most of the cost peternakan adalah pakan ternak,” jelas Rendria pada wawancaranya dengan Berita Satu. Dari situ, Rendria memahami bahwa sumber yang sekarang banyak digunakan oleh industri peternakan tidak berkelanjutan. Ia pun mencari alternatif pakan ternak yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ia pun menemukan larva BSF. “Ini adalah pengganti yang sempurna dari ikan-ikan yang biasanya dijadikan pakan ternak,” ucapnya.
Baca Juga: Mengubah Sampah Jadi Berkah, Ini 7 Aplikasinya!
Memecahkan Banyak Masalah Lingkungan
Larva BSF yang juga dikenal dengan sebutan maggot, dinilai lebih efektif dalam membantu proses pengkomposan sampah organik oleh Rendria. Dengan bantuan larva BSF yang berperan sebagai makroorganisme, proses pengkomposan jadi lebih cepat dibandingkan pengkomposan sampah umumnya yang hanya mengandalkan mikroorganisme bakteri. Larva BSF mampu mengonsumsi sampah organik hingga empat kali lipat berat badannya atau hanya memakan waktu 1-2 hari, sehingga persoalan lingkungan lain seperti keterbatasan lahan untuk tempat menampung sampah hingga polusi atau bau tak sedap yang dihasilkan sampah pun jadi bisa teratasi.
Selain itu, larva BSF juga tinggi protein. “Dia beda dengan lalat biasanya, karena larva BSF tidak membawa virus atau patogen. Yang menariknya lagi, mereka bisa makan sampah. Sampah adalah makanan mereka. We can actually solved two problems at once. Bisa memecahkan masalah sampah makanan, dan bisa juga menghasilkan protein sebagai pakan peternakan,” jelas Rendria.
Untuk memasarkan produknya, ada beberapa platform yang dipakai Magalarva. Mulai dari website, Instagram, serta e-commerce untuk menjual langsung ke user. Mereka juga telah memiliki sejumlah reseller. Kerennya lagi, Magalarva tidak hanya menggunakan platform digital untuk mempromosikan produk, tapi juga mengedukasi soal food waste, urban farming, dan pengelolaan sampah. Keren banget, ya!
Sukses Sampai ke Luar Negeri
Saat ini, Magalarva telah mengolah lebih dari 30 ton sampah makanan dengan laju 1 ton per hari. Sampah yang Magalarva dapatkan, kebanyakan berasal dari hotel, restoran, dan beberapa pabrik di Jakarta. Sampahnya mereka ambil atau dikirim, kemudian dikelola di Magalarva. Ada juga sampah sayur dan buah dari pasar, sampah kelapa sawit, sampah dari pabrik susu, dan sampah dari pabrik bir. Berbagai sumber sampah yang menjadi sumber pangan untuk larva diteliti pula oleh Magalarva. “Jadi, di dalam fasilitas (Magalarva) ini kita banyak banget riset. Misalnya, larva habis makan ini, larvanya ternyata begini. Habis makan ini, larvanya ternyata seperti apa. Ini endless research, kita coba pelajari terus,” kata Rendria.
Pada dasarnya, proses produksi Magalarva adalah membesarkan larva BSF dari hasil metamorfosis telur lalat dan memberi makan mereka dengan sampah olahan organik. Kira-kira, butuh waktu satu minggu untuk membesarkan larva kecil hingga dewasa dan bisa dipanen. Kotoran BSF juga bisa menjadi pupuk alami, lho.
Setelah larva dewasa, Magalarva akan mengeringkan dan menjualnya sebagai produk pakan ternak/makanan hewan premium Rp35.000 sampai Rp45.000 per kilogram untuk. Pasar ekspornya menjangkau hingga pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni-Eropa. Tapi, tak hanya itu, mereka juga memproduksi minyak serangga dan pupuk organik, serta mengembangkan produk turunan BSF lainnya seperti kitin.
Inovasi dari Magalarva ini sukses membawa mereka menjadi 1 dari 6 start-up yang mendapat pendanaan pada program akselerator sebesar USD 30 ribu atau sekitar Rp 420 juta dari Gree Ventures, perusahaan modal ventura asal Jepang. Setelah itu, juga berhasil mendapatkan pembiayaan modal sebesar USD 500 ribu atau sekitar Rp 7,2 miliar.
Kalau kamu ingin membangun bisnis, seperti Magalarva, dan modalnya belum cukup, jangan menyerah. Coba saja ajukan pinjaman melalui digibank KTA by DBS. Cara pengajuannya mudah dan cepat cair, cuma dalam 60 detik saja. Cek informasi lengkapnya di sini, yuk.-