Keterbatasan justru menjadi pemicu untuk bekerja lebih keras menciptakan perubahan.
Jangan menyerah pada keadaan. Terus berusaha dan berinovasi. Itulah yang menjadi kunci lima penyandang disabilitas ini untuk bekerja keras membuktikan pada dunia bahwa mereka pun bisa membuat dampak sosial. Berikut lima kisah inspiratif penyandang disabilitas:
- Angkie Yudistia, Pendiri Thisable Enterprise
Foto: dok. kompas.com
Lahir di Medan pada 5 Mei 1987, pendengaran Angkie mulai menghilang saat berusia 10 tahun. Diduga penyebabnya adalah efek obat-obatan yang dikonsumsi saat ia terserang beberapa penyakit, seperti malaria. Meski memiliki keterbatasan, ia berhasil menyabet gelar master dari Fakultas komunikasi di London School of Public Relations Jakarta. Setelah bekerja di berbagai perusahaan ternama seperti IBM Indonesia dan Geo Link Nusantara, Angkie memutuskan mendirikan Thisable Enterprise pada tahun 2009. Thisable Enterprise merupakan perusahaan penyedia SDM disabilitas. "Aku tahu sulitnya mendapatkan pekerjaan. Mengerti rasanya dengan bagaimana harus bertahan hidup di antara sulitnya akses menjadi minoritas. Tapi aku berusaha untuk selalu percaya bahwa setiap disabilitas memiliki peran masing-masing dalam pengembangan. Diakui menjadi warga yang setara adalah impian setiap disabilitas dan aku berusaha untuk menjadikan itu nyata," tutur Angkie seperti dikutip dari Tirto.id.
- Putri Santoso, Co-Founder Kopi Tuli
Foto: dok. gordi.id
Perempuan berusia 29 tahun ini lahir dalam keadaan tuli. Setelah lulus dari jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Bina Nusantara, Putri berupaya melamar pekerjaan. Tapi ia menghadapi penolakan sebanyak 500 kali dari berbagai perusahaan. Lelah ditolak sana-sini, Putri bersama dua orang temannya yang juga tuli memutuskan mendirikan Kopi Tuli. Warung kopi yang memperkerjakan pegawai disabilitas tuli. Kopi Tuli ingin berusaha meningkatkan interaksi antara orang-orang dengar dengan orang tuli agar bisa saling memahami. Kopi Tuli kini memiliki 16 pegawai disabilitas tuli dan dua cabang, yaitu di Krukut (Depok) dan Duren Tiga (Jakarta Selatan). Total omzet kedua cabang itu dalam sebulan sebesar Rp 200 juta!
- Irma Suyanti, Pendiri Pusat Usaha Kecil Menengah Penyandang Cacat.
Foto: dok. slamet-nusakambangan.blogspot.com/
Irma mulai mengalami kelumpuhan akibat polio di usia 4 tahun. Sejak itu Irma mengalami layu kaki. Menginjak SMA, ayahnya meminta Irma menggunakan tongkat untuk berjalan. Pemakaian tongkat terus berlanjut hingga kini. Bisnisnya bermula dari membuat keset rumah dari kain perca. Kain-kain perca tersebut didapatkan dari sisa jahitan penjahit sekitar tempat tinggalnya. Karena keset yang dibuat terlihat unik dan bagus, banyak tetangga yang tertarik membeli. Setelah usaha kesetnya semakin sukses dan memilik badan usaha sendiri, Irma mendirikan Pusat Usaha Kecil Menengah Penyandang Cacat. Nyaris seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan ini menyandang keterbatasan fisik. Niat mulia Irma adalah ingin membuat mereka menjadi mandiri dan memiliki kegiatan positif.
- Tarjono Slamet, pendiri CV Mandiri Craft
Foto: dok. kembaliberjalan.blogspot.com
Saat berusia 44 tahun, pria yang akrab disapa Slamet ini mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan kaki kirinya putus dan jari jemari kedua tangannya rusak. Kecelakaan kerja yang terjadi tahun 1990 memaksa Slamet berhenti bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN) wilayah Klaten, Jawa Tengah. Butuh waktu dua tahun untuk kembali memiliki semangat hidup. Slamet sempat belajar di Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta serta mengikuti berbagai pendidikan dan ketrampilan khusus bagi penyandang cacat.
Berkat ketekunannya, Slamet diangkat menjadi staf Yakkum. Slamet bahkan mendapat kesempatan dikirim ke Selandia Baru, Australia dan Belanda untuk mengikuti berbagai pelatihan. Pada tahun 2003, Slamet mendirikan CV Mandiri Craft memakai tabungan dan warisan orangtuanya. Ia mengajak 25 sesama difabel di Yakkum untuk bergabung dengannya. Mereka memproduksi mainan anak-anak. Saat usahanya sedang berkembang, tiba-tiba gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta tahun 2006 meruntuhkan usahanya. Seluruh mesin yang berjumlah 15unit rusak. Setelah sempat terpuruk selama beberapa bulan, Slamet bangkit kembali dan mengajak para difabel korban gempa untuk bergabung. Produksi Mandiri Craft kini telah merambah pasar mancanegara dan rutin mengekspor satu kontainer ke Jepang, Belanda, Australia dan Jerman setiap tiga bulan sekali. “Kalau pasar sepi, pendapatan Rp50 juta per bulan. Jika pasar ramai bisa mencapai Rp150 juta perbulan,” ungkap Slamet kepada benarnews.org/.
- Fanny Evrita Rotua Ritonga, co-founder Thisable Beauty Care
Foto: dok. instagram.com/fannyevrita
Sejak lahir ukuran kaki kiri Fanny lebih besar dari kanan. Karena ukuran tulangnya juga lebih besar, Fanny hanya bisa memakai sepatu kanan saja. Perempuan lulusan jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Tanjungpura mengaku sulit menerima keterbatasan fisiknya sampai berusia 20 tahun. Kondisinya ini membuat ia dikeluarkan dari bank karena harus memakai seragam dengan keadaan kaki sempurna. Fanny lantas hijrah ke Jakarta lalu bertemu Angkie Yudistia. Di bawah bendera Thisable Enterprise, Fanny mendirikan Thisable Beauty Care pada tahun 2016. “Saya tersadar bahwa kaum difabel juga bisa berbisnis, tak cuma mengandalkan lowongan kerja,” kata Fanny kepada Tempo.co. Produk kecantikannya terdiri dari lotion, lulur, sabun dan beauty oil dengan harga Rp 30 ribu – 200 ribu. Thisable Beauty Care memberdayakan kaum difabel di Wisma Cheshire untuk mengemas produk kecantikan dan mendapatkan upah sebesar Rp 500 per unit.-
Masih banyak lagi kisah inspiratif usaha sosial yang mendorong kita jadi sociopreneuer. Baca kisahnya di buku Profit Untuk Misi Sosial yang bisa di-download gratis di http://go.dbs.com/id-sehandbook2020. Dukung bisnis sosial untuk menuju Indonesia maju!