We have set your country to Indonesia.
Select Your Country
Industri minyak dunia berada dalam masa suram. Sejak tahun lalu, harga minyak terus menerus mengalami penurunan. Sejak Juni 2014, harga minyak dunia sudah mengalami penurunan lebih dari 50 persen. Bahkan pada Januari 2015, penurunannya sempat mencapai 60 persen, sebelum naik perlahan pada Maret dan kini di kisaran US$ 40 per barel.
Penyebab utama anjloknya harga minyak mentah adalah melonjaknya produksi dari sejumlah negara di luar Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC), khususnya Amerika. Sementara itu, negara-negara OPEC, dipimpin Arab Saudi, tidak mau menurunkan produksinya. Ini semakin diperparah dengan menurunnya permintaan di Eropa dan Jepang. Akibatnya, dunia kelebihan pasokan dan harga minyak dunia turun tajam. (Baca riset DBS: Oil Prices, Where Will We Go From Here?)
Produksi harian OPEC saat ini ada di kisaran 30,1 juta barel per hari (mmbpd). Meski ada desakan dari beberapa anggotanya agar produksi dikurangi, OPEC tetap memutuskan untuk mempertahankan produksi di kisaran 30 mmbpd. Arab Saudi, anggota paling berpengaruh di OPEC, bahkan produksinya terus meningkat. Saat ini, produksi harian Arab Saudi hampir mencapai 10 mmbpd. Irak yang menjadi produsen minyak kedua terbesar di OPEC juga terus meningkatkan produksinya, yang kini mencapai 3,4 mmbpd.
Di saat produksi OPEC stabil, produksi negara non-OPEC justru melonjak tajam. Amerika menjadi motor penggerak dengan produksi 1,6 mmbpd sepanjang 2014. DBS memperkirakan harga minyak dunia akan kembali naik ketika permintaan kembali meningkat dan pasokan tidak melimpah seperti saat ini.
Namun DBS dalam laporannya Oil Prices, Where Will We Go From Here? menyebutkan, sangat sulit untuk memproyeksikan seberapa besar kenaikan dan kapan akan terjadi, karena ada banyak faktor yang berpengaruh. Tidak bisa hanya sekadar memperhitungkan pasokan dan permintaan.
Asia Beralih ke Energi Bersih
DBS dalam risetnya Powering Asia’s Growth – Overview of Asia’s Energy Needs menyimpulkan, kebutuhan energi di Asia akan terus meningkat seberapa pun harga minyak dunia. Ini karena ekonomi Asia terus tumbuh.
Namun kini, menurut DBS, mulai muncul kecenderungan negara-negara di Asia mencari sumber energi yang lebih bersih dan secara teori lebih murah. Sumber-sumber energi baru dan terbarukan, seperti panas bumi, nuklir, sinar matahari dan angin mulai banyak diproduksi. Pada 2012, Asia menjadi tujuan utama investasi untuk energi bersih. Sebesar 42 persen total investasi dunia dikucurkan ke Asia.
Di Cina, selain karena perlambatan ekonomi, penurunan permintaan terhadap minyak bumi, juga dikarenakan kebijakan negeri itu melakukan efisiensi energi dan usaha untuk mengurangi polusi.
Dr. Philip Andrew-Speed, Principal Fellow & Head of the Energy Security Division, Energy Studies Institute di National University of Singapore, merasa yakin Asia saat ini sedang berada di tipping point penggunaan energi bersih.
Saat menjadi pembicara di DBS Asian Insights Conference 2015, ia mengatakan, agar energi bersih bisa digunakan secara merata di Asia, selain dibutuhkan teknologi dan kemampuan untuk menggunakan teknologi, juga diperlukan pendidikan dan informasi kepada masyarakat sehingga semua pihak mau terlibat. Dengan begitu, transisi menuju penggunaan energi bersih bisa dilakukan dengan baik. (Baca: DBS Asian Insights Conference 2015 - Will Asia Make The Swith to Clean Energy?)
Di tengah dorongan kuat pengembangan energi baru-terbarukan, energi fosil tidak akan benar-benar ditinggalkan. Ekonomi negara-negara Asia yang terus tumbuh tetap membutuhkan pasokan energi yang besar. Meski begitu negara-negara Asia mulai menyadari, mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada energi fosil. Ini karena sebagian besar negara Asia bukanlah produsen migas yang besar.
Sebagian besar kebutuhan migas negara-negara Asia diimpor dari Timur Tengah. Untuk gas alam, misalnya, DBS memperkirakan Asia akan menjadi net importer pada 2020. Bahkan pada 2035, impor gas alam akan naik lima kali lipat.
Karena itu diversifikasi energi menjadi kebutuhan utama bagi Asia. Bila Asia mampu menggabungkan penggunaan energi fosil dengan energi matahari, angin, biofuel, nuklir dan masih banyak lainnya, maka di masa depan keuntungan terbesar akan dirasakan pelaku bisnis dan masyarakat.
Kebutuhan Energi Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi terbesar di dunia. Berdasarkan data Direktorat Energi Baru-Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), peningkatan konsumsi energi Indonesia beberapa tahun belakangan ini mencapai tujuh persen per tahun.1
Untuk memenuhi kebutuhan itu, tak cukup hanya dengan mengandalkan energi fosil. Sebagai jawabannya, maka perlu upaya sistematis untuk mengembangkan potensi energi baru dan terbarukan, yang sesungguhnya jumlahnya sangat berlimpah di Indonesia. Potensi besar itu, antara lain berupa panas bumi, bahan bakar nabati, coal bed methane (CBM), tenaga air, matahari, hingga angin.
1 “Energi Masa Depan”, Suplemen Energi Terbarukan, majalah Tempo, 17 Maret 2013
Bukan Lagi Negeri Kaya Minyak
Masa keemasan Indonesia sebagai negara kaya minyak atau yang sering disebut era bonanza minyak telah berakhir. Produksi minyak bumi yang pernah mencapai puncaknya pada 1997 sebesar 1,6 juta barel per hari, kini tinggal separuhnya. Cadangan minyak Indonesia pun menurun paling cepat di Asia: dari sekitar 12 miliar barel pada 1980 menjadi tinggal tersisa kurang dari 4 miliar barel—lebih rendah dari Malaysia yang penduduknya hanya sepersembilan dari Indonesia (Baca: 10 Alasan Harga BBM Harus Naik)
Dengan penurunan itu, maka sudah lebih dari satu dasawarsa, status Indonesia yang dulu dikenal sebagai negara pengekspor minyak, sudah berubah menjadi net importer (impor lebih besar dari ekspor) minyak.2 (Baca: 10 Alasan Harga BBM Harus Naik). Itu sebabnya, minyak dan gas (migas) pun bukan lagi menjadi penghasil utama devisa. Porsi sumbangan migas bagi pendapatan negara yang pada masa Orde Baru mencapai 70 persen, kini tinggal sekitar 20 persen.
2 Wajah Baru Industri Migas Indonesia, Katadata, hal. 22, April 2014
Kondisi ini kian berat bagi Indonesia, karena konsumsi minyak terus meningkat di tengah produksinya yang kian menurun. Pada kurun 1992-2013, produksi minyak Indonesia mengalami penurunan rata-rata 2,1 persen per tahun, dan laju penurunannya semakin tajam.3
Dengan fenomena itu, peran minyak akan mulai tergantikan oleh gas bumi. Apalagi, kemampuan produksi gas Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsinya. Pada kurun waktu 1992-2013, produksi gas Indonesia rata-rata 35,3 miliar meter kubik (BCM), lebih tinggi dari tingkat konsumsinya. Rata-rata produksinya pun masih meningkat 1,8 persen per tahun, kendati konsumsi gas meningkat lebih besar yaitu 3,9 persen per tahun.
Meski begitu, gas tidak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menopang kebutuhan energi Indonesia. Produksi gas diperkirakan akan mulai menurun secara permanen mulai 2019 dan mencapai titik terendah pada 2015. Saat itu produksi gas hanya sebesar 802 BOEPD (setara barel minyak per hari), sementara kebutuhan gas nasional mencapai 1,5 juta BOEPD atau terjadi defisit sekitar 0,7 juta BOEPD. Dengan kata lain, Indonesia tengah menghadapi ancaman krisis energi.4
3 Pertamina Energy Outlook 2015, hal. 37
4 Muin, Abdul; Ketahanan Energi Nasional di Ambang Senja, Desember 2013
Untuk mengatasi ancaman defisit energi di masa depan, pengembangan energi baru dan terbarukan (renewable energy) di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, potensi yang dimiliki oleh “Negeri Seribu Pulau” ini sangat berlimpah.
Pola konsumsi energi Indonesia pun perlu bergeser dari energi fosil ke energi baru-terbarukan. Sebab, di tengah tingkat produksi yang kian menurun, konsumsi energi nasional masih didominasi oleh energi tak terbarukan alias energi fosil, yaitu mencapai 94 persen. Ini terdiri dari 47 persen minyak bumi, 21 persen gas, dan 26 persen batubara.
Industri panas bumi di lingkup global tumbuh signifikan, dengan pertumbuhan mencapai 4-5 persen. Pada 2013, perkembangannya bahkan sangat signifikan, seiring dengan beroperasinya pembangkit-pembangkit baru di Amerika Serikat, Filipina dan Eropa. Negara-negara di Afrika Timur, seperti Kenya dan Ethiopia, juga tengah memacu penyelesaian proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Di Indonesia, potensi panas bumi sangat besar. Potensinya di seluruh wilayah dapat menghasilkan listrik sebesar 30 ribu megawatt atau setara dengan 40 persen dari potensi seluruh dunia. Listrik sebesar itu cukup untuk menerangi enam kota seukuran Jakarta. Sayangnya, potensi besar ini belum termanfaatkan. Baru 1.300 MW atau kurang dari lima persen yang dimanfaatkan.6
6 “Proyek Sunyi Panas Bumi”, Liputan Khusus majalah Tempo, 24 Maret 2013
Shale gas adalah gas alam yang mayoritas berupa metana dan terbentuk di lapisan batuan shale yang kaya hidrokarbon. Energi alternatif ini kini menjadi primadona baru, setelah adanya penemuan besar di AS. Diperkirakan, kenaikan produksi total gas alam dunia sebesar 56 persen pada 2012-2040, terutama disebabkan oleh meningkatnya pengembangan shale gas. Proporsi shale gas terhadap produksi total gas alam AS pun meningkat dari 40 persen pada 2012 menjadi 53 persen pada 2040. 7 Potensi shale gas di Indonesia terbilang besar. Letaknya tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Di belahan barat Indonesia, shale gas terpendam di di lapisan batuan berumur 20-30 juta tahun. Sedangkan di Indonesia timur tersimpan di bebatuan berumur 200 juta tahun. Berdasarkan data American Association of Petroleum Geologists dan Badan Informasi Energi AS, potensi shale gas di Indonesia mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF). Meski kalah dari AS (1.100 TCF), Cina (1.400 TCF), dan Rusia (1.700 TCF), jumlah itu setara dengan lima kali cadangan gas Indonesia saat ini. Di peringkat global, Indonesia menempati urutan delapan besar, setelah Rusia, Cina, AS, Iran, Qatar, Argentina, dan Meksiko. Sebagai gambaran, satu TCF shale gas bisa menghasilkan 100 miliar kWh listrik dan menghidupkan 12 juta unit kendaraan berbahan bakar gas setahun. 8
7 Pertamina Energy Outlook 2015, hal. 75-77
8 “Energi Terpendam Bernama Shale Gas”, Liputan Khusus majalah Tempo, 24 Maret 2013
Produksi biofuel global telah mencapai 120 miliar liter pada 2013 dan memasok 3,5 persen dari kebutuhan bahan bakar transportasi dunia. Di seluruh dunia, kini sudah lebih dari 50 negara yang telah menerapkan mandatori bahan bakar nabati ini. Meski begitu, setelah mengalami periode pertumbuhan pesat, produksi dan konsumsi biofuel di AS, Uni Eropa dan Brasil mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Produksi bioefuel global, menurut proyeksi IEA, akan mencapai 139 miliar liter pada 2020. 9 Selama ini, pengembangan biofuel di Indonesia sulit berkembang karena terkendala oleh masih murahnya harga BBM. Namun, sejak adanya pemangkasan subsidi BBM, yang membuat harganya menjadi relatif lebih mahal, maka peluang pengembangan biofuel semakin terbuka. Salah satu yang kini sedang coba diupayakan pengembangannya oleh pemerintah, yaitu biofuel berbahan dasar sawit. Ini dikarenakan, Indonesia kini merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Untuk itu, pemerintah telah menetapkan pemberian subsidi harga sebesar Rp 2.600 per liter untuk produk biodiesel. Pemberian subsidi ini dilakukan berbarengan dengan kewajiban penggunaan campuran biodiesel sebesar 15 persen pada solar, yang mulai berlaku pada pertengahan Agustus lalu. (Baca: Subsidi Biodiesel Ditetapkan Sebesar Rp 2.600 per Liter).
9 Pertamina Energy Outlook 2015, hal. 84-88
Industri CBM bermula di AS pada 1970-an, yang kemudian dikembangkan secara intensif di Australia pada awal 1990-an. Kini sejumlah negara di Asia, khususnya Cina, Indonesia dan India, yang diperkirakan secara bersama-sama memiliki CBM sekitar 1.750 triliun kaki kubik (TCF), aktif mengembangkan energi alternatif ini. Pengembangannya memang terbilang lambat. Hingga pertengahan 2008, hanya sekitar 15 TCF CBM yang diproduksi di seluruh dunia. 10 Indonesia memiliki sumberdaya CBM yang potensial, diperkirakan mencapai 450 TCF. Nilai ini setara dengan dua kali lipat cadangan terbukti (proven) maupun terduga (probable) gas alam. Sejauh ini, belum ada proyek CBM di Indonesia yang beroperasi. Pada 2008, sebanyak empat kontrak bagi hasil (PSC) CBM pertama ditandatangani. Produksi komersial CBM pertama berhasil dilakukan oleh PSC Vico Sanga-sanga pada 2011. Mulai 2014, beberapa pilot project akan dikembangkan menjadi produksi skala besar. Diharapkan akan menarik peminat perusahaan migas Asia dan dunia.
10 Pertamina Energy Outlook 2015, hal. 90-101
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi hidro. Diperkirakan potensinya mencapai 75 ribu megawatt. Di Papua saja, setidaknya ada 52 sungat yang diprediksi bisa menghasilkan listrik sebesar 22 ribu MW. Sayangnya, baru sekitar lima persen dari potensi itu yang telah dimanfaatkan. 11 Energi tenaga air ini belakangan cukup berkembang dalam pengembangan pembangkit listrik mini hidro. Salah satu pelopornya adalah Tri Mumpuni. Melalui Institus Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, ia merancang pembangkit berkapasitas 2,8 MW dengan memanfaatkan aliran Sungai Cilamaya. Listrik yang dihasilkan, dialirkan untuk kebutuhan PLN. Bisnis pembangkit bertenaga hidro ini mendapat dukungan pemerintah, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah.
10 “Banjir Izin di Sepanjang Sungai”, Liputan Khusus majalah Tempo, 24 Maret 2013