06/29/2015
Asia / Economic
Startup “fintech” (financial-technology) belakangan ini menjadi perbincangan yang cukup hangat diperdebatkan. Beberapa mengatakan fintechberperan sebagai penggerak ekonomi bangsa. Sementara banyak pula yang menampik potensinya dengan alasan masyarakat kurang siap meleburkan entitas keuangan dengan teknologi.
Laporan DBS Group Research pada tahun 2014 bertajuk “Sink or Swim Business Impact of Digital Technology” menyebutkan bahwa asuransi dan perbankan merupakan sektor yang akan terkena dampak atas implikasi teknologi dalam waktu 2-4 tahun ke depan.
Ini dikarenakan para pemain digital menjajaki sektor yang serupa dengan asuransi maupun perbankan yaitu jasa dan barang virtual. Berbeda dengan sektor manufaktur yang membutuhkan waktu lama untuk menyerap implikasi dari perkembangan teknologi digital.
Ketika pemerintah dan perbankan dinilai kesulitan menjangkau masyarakat di pelosok untuk memberikan akses keuangan dan produk finansial, kegesitan pemain fintech mampu mengeliminasi segala penghalang seperti sosialisasi, masalah teknis, faktor geografis dan faktor lainnya.
Jika hanya mengandalkan cara konvensional, akan terlalu lama untuk menjangkau 80% dari total populasi masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses perbankan (unbanked) saat ini. Di sisi lain fintech bisa membantu bahkan mengambil alih peran bank yang harus membuka kantor cabang hingga ke pelosok. Berbasis teknologi, startup fintech dapat langsung diadopsi lebih luas dengan memanfaatkan penggunaan smartphone maupun akses internet. Pemain seperti HaloMoney menjadi salah satu startup fintech yang bisa membantu masyarakat mendapatkan produk keuangan yang dibutuhkan.
Platform-nya mampu menyajikan, membandingkan, serta membantu mendapatkan produk keuangan yang sekiranya dibutuhkan. Di segmen solusi metode pembayaran, startup fintech seperti Veritrans, Doku, dan Veryfund hadir sebagai alternatif bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran non-tunai. Adopsi smartphone dan internet yang tinggi merupakan kesempatan baik bagi fintech untuk menjangkau masyarakat secara langsung. Masyarakat jauh lebih akrab menggunakan aplikasi yang bisa diakses dari genggaman tangannya, daripada harus mendatangi kantor cabang yang letaknya jauh dan memakan waktu.
Para pemain fintech jelas menyadari lahan yang tersedia untuk digarap pihaknya. Maka dari itu, sangat mungkin jika dilakukan kolaborasi melibatkan perbankan sebagai penyedia jasa keuangan yang sah. Namun pada implementasinya, justru para operator telekomunikasi yang lebih gencar menerapkan skema seperti itu. Kepemilikan SIM Card diklaim lebih luas daripada kepemilikan rekening bank. Dampak dari terjunnya operator sebagai pemain fintech besar terlihat jelas dan membuat ekosistem semakin kompetitif. Kompetisi menandakan perkembangan yang positif.
Jika infrastruktur teknologi itu sendiri sudah matang, maka yang jadi tantangan tinggal bagaimana mengubah persepsi masyarakat tentang akses keuangan yang aman dan mudah digunakan.