06/29/2015
Asia / Economic
Gejolak nilai tukar sudah dua tahun terakhir melanda mata uang di seluruh dunia. Di tengah gelombang itu, perang kurs tak terhindarkan. “Genderang” perang terakhir datang dari daratan Tiongkok. Devaluasi mata uang yuan sebesar tiga persen pada Agustus lalu, bahkan langsung merontokkan sejumlah mata uang dunia, termasuk rupiah.
Dalam peperangan itu, sesungguhnya siapa yang keluar jadi pemenang: dolar (AS), euro (Eropa), yuan (Tiongkok), ataukah yen (Jepang)? Mengingat lemahnya nilai mata uang euro dan yen, secara teori permintaan barang dari Jerman dan Jepang akan terbantu. Jerman selaku pengguna euro, dan Jepang diperkirakan digdaya
Melemahnya mata uang kedua negara itu terhadap dolar, yang mencapai sekitar 16 persen sejak Januari 2014, membuat kinerja ekspornya seolah melambung: tumbuh 14 persen sejak awal tahun lalu, atau sekitar 9 persen dalam setahun. Sebaliknya, Tiongkokmenjadi “pecundang” karena ekspornya per Agustus lalu turun 5,5 persen year on year.
Tapi, jangan terburu-buru menyimpulkan. Perlu diingat, ekspor Jerman didenominasikan dalam mata uang euro, sedangkan Tiongkok memakai dolar. Euro yang melemah tajam, membuat nilai ekspor Jerman terlihat membubung. Sebaliknya, penguatan dolar, membuat nilai ekspor Tiongkok tampak susut. Bandingkan jika Tiongkok memakai denominasi euro. Nilai ekspornya ternyata tumbuh hingga 13 persen, hampir dua kali lipat dari pencapaian Jerman. Tak jelas, siapa sesungguhnya yang telah keluar sebagai pemenang?
David Carbon, Chief Economist DBS, dalam laporan risetnya“G4: who’s winning the currency wars?”mengatakan, untuk meminimalkan distorsi itu, nilai ekspor setiap negara perlu diterjemahkan dalam satu keranjang tiga mata uang: dolar, euro, dan yen.
Dengan metode tri-kurs inilah, maka bias dari penguatan dolar, serta pelemahan euro dan yen bisa diminimalkan. “Sehingga diperoleh gambaran lebih jernih, siapa sesungguhnya yang menjadi pemenang.”
Hasilnya, ekspor Asia-10 dan Amerika Serikat sejak 2011 tumbuh 6,5-7 persen. Sedangkan Jerman, kendati euro melemah, hanya di posisi ketiga, yaitu 4,5 persen. Dan Jepang, yang mata uangnya anjlok 38 persen terhadap dolar, ekspornya malah minus 2,2 persen.
“Yang melegakan,” kata Carbon, “Fakta bahwa perdagangan global terus tumbuh, sebagaimana terjadi sejak 1960.” Ekspor G4 (AS, zona Eropa, Jepang dan Asia-10) terus meningkat 5,6 persen per tahun, bahkan ketika dolar mulai menguat tajam sejak pertengahan 2014, yang menggoyahkan berbagai mata uang dunia.