02/12/2015
Asia / Economic
Gerak cepat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperbaiki struktur perekonomian Indonesia terhambat perlambatan ekonomi dunia. Pada 2015, diperkirakan ekonomi hanya akan tumbuh sekitar 4,7 persen, laju terendah sejak 2009.
Dalam setahun pemerintahannya, Jokowi sebetulnya telah melakukan sejumlah perubahan. Misalnya, mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), meningkatkan bantuan bagi warga miskin, hingga mengefisienkan perizinan investasi. Tapi perubahan itu tidak serta merta membuat target-target pemerintah tercapai, terutama dalam mendorong pembangunan infrastruktur.
Ini yang jadi persoalan. Perlambatan ekonomi yang dibarengi dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat dunia usaha tertekan. Kondisi ini membuat target penerimaan pajak tidak tercapai. Hingga akhir 2015, penerimaan pajak diperkirakan cuma 87-88 persen. Ini berpengaruh terhadap investasi pemerintah.
Di tengah situasi ini, DBS dalam laporan berjudul Indonesia What’s Holding Back Growth? justru menyarankan pemerintah untuk lebih agresif merealisasikan belanja. Pemerintah masih memiliki ruang untuk menaikkan defisit fiskal hingga 2,5 persen atau sesuai batas undang-undang sebesar 3 persen, karena rasio utang terhadap PDB masih rendah.
Di samping sejumlah tantangan ini, DBS menilai, investor masih melihat prospek jangka panjang ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari masih tingginya aliran modal masuk di pasar obligasi. Begitu pula dengan investasi asing langsung (FDI) yang tetap mengalir, di tengah kekhawatiran Indonesia akan kembali ke situasi krisis 1997.
Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini jauh dari krisis. Namun, di tengah perlambatan ekonomi ini pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah pragmatis supaya tidak semakin tertekan. Terutama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sambil mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas.
Tanda-tanda mulai bergeliatnya perekonomian terlihat dari kinerja selama kuartal III-2015. Belanja pemerintah yang tertahan selama semester I telah meningkat hingga 6,6 persen (yoy) pada kuartal III, atau dua kali lebih cepat dari ekspektasi DBS. Hingga akhir tahun, realisasi anggaran diperkirakan mencapai 80-85 persen dan bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi pada 2016.
Investasi swasta pun membaik, seperti terlihat dalam konsumsi semen yang sepanjang Agustus-September naik 7 persen. Kenaikan ini menjadi indikasi telah berjalannya proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Jika investasi terus meningkat dan kurs rupiah stabil, pertumbuhan ekonomi 2016 diperkirakan akan melaju hingga 5,2 persen.